Selasa, 26 April 2011

Keindahan Bahasa Sarkasme Joni Ariadinata


Antiklimaks
Meskipun kumpulan cerpen Kalimati karya Joni Ariadinata ini  penuh dihiasi majas sarkasme, namun  bisa memberikan nuansa puitis. Kecermatan memilih kata ditunjang pengalaman estetis pengarang, bahasa menjadi terasa berirama. Kata demi kata, kalimat-demi kalimat dirangkai lewat persamaan-persamaan bunyi, seperti pada larik-larik puisi modern Tidak saja indah untuk dibaca tetapi juga sangat indah untuk diucapkan. Bahkan semakin menusuk perasaan saja. Sebagai contoh :

Sisa aroma malam yang pincang menghablurkan bau najis pada pucuk-pucuk lampu, hinggap mengempis di batang-batang besi: rel kereta, tembok jajaran tiang, atau gelonteng lamat penjaga malam  dalam   sisa  kantuk sumpah serapah. Embun menggigil turun, ribuan malaikat bengis menjelmakan kesedihan lewat kelungker-kelungker wajah wajah papa di lantai tembok, sedemikian terhina dalam keluntungan sarung dan koran, jajaran trotoar. (Kalimati:39).

Betapa kuatnya huruf /a/ pada kalimat  Sisa aroma malam yang pincang’  kemudian huruf /u/ pada kalimat menghablurkan bau najis pada pucuk-pucuk lampu.  Bgitu pula dengan kalimat; rel kereta, tembok jajaran tiang, atau gelonteng lamat penjaga malam  dalam sisa kantuk sumpah serapah. Konsonan /t/ dan /ng/  serta /s/ pada akhir kalimat  seperti  sengaja disusun untuk menjaga rasa bahasa untuk memperhalus kemuraman suasana. Persamaan-persamaan bunyi pada paragraf tersebut dapat menghatarkan pembaca pada situasi kehampaan malam.

Gemerontang ronda tak sopan mendentum lewat tiang listrik beku. Gegabah. Tambun Diago mengkeriut. Bau embun menelikung bau bayi, menyentakkan lelangit pengantin merah jambu – temaram. Dingin menelusuk hasrat legam rambut meremang. Rambut Hawa. Mungkin seseorang, atau entah siapa.—(Avartara:142)

Kembali huruf-huruf konsonan seperti disusun di antara huruf-huruf getar, sengau dan dental dengan persamaan huruf vokal, di samping terasa indah, juga mampu menggambarkan kegelisahan seorang Tambun Diago.

Juga contoh- contoh yang lain:
Empat suami, satu perut perempuan. Tak jelas. Tapi siti cantik. Pipi dekik, hidung mancung; rambut lebat panjang, bergelombang. ... Dulu, Mak Nil dibawa Udin. Orang kampung. Ditipu mentah-mentah; tobat, digilir tiap malam. Berempat, bajingan merah, gali, copet dan garong. ... Perut Mak Nil meletus:”Astaga, dia bunting! (Rumah Bidadari:22)

Gaya penulisan yang dikembangkan Joni Ariadinata ini sangat berpengaruh pada struktur bercerita. Cerita terasa lebih cepat dan emosional. Dengan gaya penulisan ini rupanya Joni ingin melabrak konsep struktur alur konvensional.  Joni ingin; pengalaman batin, pandangan hidup, sampai pada unek-unek bercampur dengan bangunan cerita menjadi satu kebulatan yang utuh. Keutuhan gagasan untuk membicarakan kesemrawutan negeri ini.  Pengungkapan gagasan melalui detil-detil objek menjadi lebih penting dari hanya sekedar bercerita.

Epilog
Sebagai penutup; pertama saya sangat berempati pada tokoh-tokoh dalam kumpulan ceerpen Kalimati. Mereka hidup dalam kemelaratan yang penuh dengan kekerasan, tapi tak pernah mengeluh. Mereka masih memiliki semangat hidup, harga diri, harapan dan cinta dengan bahasanya sendiri, meskipun harus terusir oleh hegemoni kekuasaan yang represif. Kedua, saya pernah menonton televisi, menayangkan orang jepang memanfaatkan sampah kulit bawang sebagai media untuk melukis. Di Perancis seorang seniman menyusun ban-ban bekas menjadi sebuah karya seni. Sarkasme, kata-kata kotor, umpatan-umpatan bahasa daerah, bahkankalimat  tak senonoh, ditulis Joni Ariadinata menjadi bermakna. Menjadi karya sastra yang khas, dan mampu membawa nuansa baru  dalam khasanah sastra Indonesia.


Tidak ada komentar:

Carilah Yang Kau Butuhkan