Sabtu, 23 April 2011

Sarkasme vs Bahasa Kekuasaan dalam Kalimati, Joni Ariadinata


Konflik 2
Secara politis bahasa Indonesia ditempatkan sebagai alat pemersatu. Karena posisinya itu, bahaa Indonesia harus mencerminkan budaya bangsa. Untuk tujuan tersebut, maka penggunaan bahasa Indonesia harus ditertibkan. Perlu dirumuskan bahasa yang baik dan benar; bahasa yang bisa dipertanggungjawabkan, baik sebagai alat pemersatu, maupun sebagai proses pembudayaan bangsa.

Sedangkan secara pragmatis, bahasa yang baik dan benar sering dikaitkan dengan keteraturan struktur berbahasa, dan ketepatan( dimana, kapan, siapa bagaimana, mengapa) bahasa itu digunakan. Adapun bahasa yang (dianggap) berbudaya, sering dikaitkan dengan perilaku pengguna yang menyangkut tatakrama dan sopan santun.

Ada yang berpendapat, bahwa perilaku seseorang dapat diketahui dari caranya bertutur kata. Pada tataran ini telah terjadi diskriminasi bahasa. Di Indonesia dikenal 3 tingkatan kebahasaan; bahasa halus, bahasa sehari-hari dan bahasa kasar. Bahasa kolong jembatan, pinggiran kali, penghuni lokalisasi, dan golongan bawah lainnya sering kali mengucapkan kata-kata (tak senonoh); berak, bajingan, djancuk, sundel, pokeh, dan termasuk sumpah serapah seperti Anjing! Babi! dan sebagainya tentu akan dipersepsikan sebagai bahasa yang tidak berbudaya karena dianggap kasar. Tidak sopan! Begitu kata para pengguna jasa bahasa.

Para pengguna jasa bahasa, atau kelompok yang (menganggap) memiliki kewenangan untuk menjaga, mengembangkan, melestarikan dan memproduksi bahasa seperti, pusat lembaga bahasa pemerintah, pengusaha  media cetak, ilmuwan, cendikiawan, para ahli bahasa termasuk penulis dan pembaca, mempersepsikan bahwa bahasa yang baik dan benar adalah bahasa yang tidak saja sesuai dengan norma-norma bahasa, tetapi juga selaras dengan tatakrama dan sopan santun. Jadi sekali lagi bahasa kere tidak bisa disebut sebagai bahasa yang bisa melahirkan kebudayaan.

Bahasa kekuasaanlah yang membuat  Joni Ariadinata muring-muring, karena cerpenya ‘Lampor’ harus disesuaikan dengan bahasa ‘Kompas’, surat kabar yang menerbitkannya. Dan jika persepsi iru (dianggap) benar, maka saya yakin kumpulan cerpen Kalimati tidak akan ada yang mau menerbitkan, karena telah keluar dari bahasa kekuasaan. Joni lebih memilih bahasa yang benar-benar hidup di tengah-tengah kehidupan yang ditulisnya. Bahasa yang benar-benar bisa menguraikan detail-detail objek sehingga pembaca dapat merasakan bau, jorok, sumpek, brengsek,  sumpek, yang menurut Joni sulit untuk didefinisikan.

Tidak ada komentar:

Carilah Yang Kau Butuhkan