Sabtu, 08 Oktober 2011

Sukarela, Pungli atau Palak?

Sebuah Esai dalam Prosa Lirik

Istilah pungli alias pungutan liar pertama kali dikenal orang karena ulah tingkah oknum polisi lalu lintas yang suka nilang kendaraan padahal cari ceperan.  Kemudian bersamaan dengan agenda keamanan tentang  pembrangusan  preman-preman yang kerap meresahkan masyarakat, baik di terminal, di pasar, atau di lahan-lahan parkir. Di kawasan-kawasan terebut sering terjadi pemalakan-pemalakan liar, yang sering diikuti dengan  tindak kekerasan. Maka preman-preman, terminal, pasar dan lahan-lahan parkir itu perlu ditertibkan.

Kata pungli pun naik derajatnya menjadi di kantor-kantor. Para pegawai kantor merasa punya wewenang untuk meminta imbalan kepada orang-orang yang membutuhkan surat dari kantornya. Tak sedikit diantara pegawai tersebut yang kemudian menjadi calo surat menyurat; entah untuk ngurus ktp, surat kawin, surat tanah, pajak, sim dan lain sebagainya. Bahkan para pengurus keuangan dan kepala kantor sering  merasa punya hak untuk memotong gaji-gaji rapelan pegawai/bawahannya, dengan istilah yang ringan tapi nyelekit, ‘Rapelan kan uang nemu.” Pokonya semua proses surat-menyurat, mengurus rapelan gaji menjadi sangat lamban jika tidak ada uang pelicinnnya. Bahkan tidak sedikit para atasan  yang mengintimidasi bawahannya jika ada sedikit perlawanan.

Waktu pun bergulir menuju era keterbukaan atau transparansi. Pemotongan gaji, suap menyuap, dan istilah pungli ala kantoran dicerca sebagai tindakan jenis korupsi. Istilah pungli pun mulai tidak populer lagi di telinga masyarakat. Istilah ini terkalahkan dengan istilah baru yang disebut KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme). Yang jelas ketika istilah KKN ini diorbitkan sebagai pelesetan dari Kuliah Kerja Nyata, tak ada satu pun perguruan tinggi yang protes.

Karena korupsi jelas-jelas tertuang di dalam hukum pidana sebagai pelanggaran, maka orang-orang kantor mempunyai istilah baru dengan nama sumbangan sukarela. Modusnya sama dengan pungli. Sumbangan itu kadang-kadang ditetapkan nominalnya, dan telah diundang-undangkan melalui musyawarah. Tapi perundang-undangan hasil musyawarah itu tidak pernah dituangkan dalam secarik kertas, sebagai dasar hukum. Semua hasil musyawarah hanya dicatat  dalam kepalanya dan disampaikan secara lisan kepada orang-orang yang mempunyai kewajiban menyumbangkan sumbangan sukarela. Sementara para wajib sumbang tidak pernah merasa mewakilkan orang-orang untuk ikut musyawarah. Yang jelas yang ikut musyawarah adalah kepala-kepala kantornya. Rupanya pola instruktif yang lebih bersifat intimidatif masih berkembang di negeri yang diacungi jempol oleh Amerika Serikat atas keberhasilannya menjalankan sistem demokrasi.

Kepala kantor atas kepentingan dan instruksi Kepala Dinas menginstruksikan kepada anak buahnya untuk menyumbangkan dengan suka reka Rp. 100.000,- dari rapelan yang diterima. Ini hasil kesepakatan para kepala kantor untuk memberikan sumbangan kepada Kepala Dinas yang menjadi kepala mereka. Ada yang rela tapi tidak suka, ada yang terpaksa menyumbang karena takut, ada juga yang berani, mau menyumbang asalkan ada  surat hasil keputusan musyawarah, minimal ada surat edaran dari Kepala Dinas yang ditindaklanjuti oleh kepala-kepala kantor. 
Tentu saja, baik surat dan hasil keputusan musyawarah tidak ada. Jika surat itu  ada dan diedarkan di media massa, betapa rusaknya moral para Kepala Kantor dan Kepala Dinas itu. Sudah dilarang kok masih melakukan pungli. Dan sudah pasti bisa dijerat sebagai tindakan korupsi.

Orang-orang kantor paham, hukum bisa berlaku jika ada bukti. Seseorang bisa dikatakan bersalah bila telah memiliki  bukti fisik. Pengakuan dan saksi lisan belum cukup untuk menjerat seseorang untuk menjadi terpidana. Maka jika saya dianggap memfitnah buktinya jelas, adalah tulisan ini. Tapi kalau saya harus membuktikan tindakan mereka, tentu saya tidak cukup bukti, karena uang 100 ribu rupiah yang saya berikan kepada para pemotong gaji tanpa kuitansi. Dan hasil musyawarah pun tak ada karena cuma ada dalam kepala-kepala mereka.  Yang mau bersaksi pun tentu sudah ditakut-takuti. Lagian cuma 100 ribu, anggap saja sedekah, kata mereka untuk menutupi rasa takutnya.
Dengan begitu, hakim mungkin akan lebih senang menjebloskan saya ke dalam penjara dari pada menjebloskan mereka. Karena untuk mereka tidak ada cukup bukti. Kesaksian meskipun lebih dari seratus orang (kalau ada yang berani), tidak akan  cukup untuk menjamin sebuah kebenaran di mata hukum yang memang sudah disetting seperti itu. Yang jelas istilah 'sukareka' yang begitu erat dengan keikhlasan menjadi rancu dikotori istilah pungli. Preman-preman bilang PALAK.

Tidak ada komentar:

Carilah Yang Kau Butuhkan