Pilihan Sarkasme dalam 'Kumpulan Cerpen Kalimati', karya Joni Ariadinata sebagai ungkapan simbolik dari kekerasan dan kepahitan hidup menjadi sangat penting untuk membentuk sekaligus menjaga keutuhan cerita. Sarkasme menjadi sangat penting untuk mengikat tema, perwatakan tokoh dan setting. Bahkan kecermatannya memilih kata ditunjang pengalaman estetisnya, Joni mampu merangkai kata demi kata, kalimat demi kalimat pendek seperti larik-larik pada bait puisi modern. Sarkasme tidak saja indah untuk dibaca tetapi juga sangat indah untuk diucapkan. Bahasa kasar itu mampu menusuk perasaan si pembaca atau si pendengarnya. Sebagai contoh :
(Rumah Bidadari, hal. 22)
Empat "suami", satu perut perempuan. Tak jelas. Tapi Siti cantik, teramat cantik. Pipi dekik, hidung mancung; rambut lebat panjang, bergelombang. Anak siapa? Sebelas tahun bau kencur. Biddadari pilihan Gusti, dicipta di atas comberan, siapa nyana. Dulu, Mak Nil dibawa Udin. Orang kampung. Ditipu mentah-mentah; tobat, digilir tengah malam. Berempat, bajingan merah. Gali, copet, dan garong. Tak bisa lari; disekap berbulan-bulan. Perut Mak Nil meletus: "Astaga, dia bunting!!"
(Nekrofagus, hal. 78 - 79)
"hoh-hoh-hooooh ...," menjambak-jambak rambut: ambrol. Bajingan. Iris-iris bau keringat tindihan napas mengendus-endus ludah bacin; dicuci tempatnya saja, lap handuk satu basah semalam suntuk buat sekian laki-laki. Kini mami tak lagi bisa. Guguran bulu itu. Meski terkutuklah: berapa liter cairan mani menumpuk di perut, kadang berpikir tak usah minum dari mulut. Jika tidak sedikit bubazir meleleh di kain seprei, menjadi dekil, coklat anyir dijilat kecoa atau sesekali kucing melompat jendela. Satu malam sebotol minyak wangi buat menipu. Bersih. Wangi. Nikmat, "Sayang, aduh sayang ..." meringis. Hanya pelacur-pelacur ahli yang tahu semua lelaki dungu. Dan ia pasti adalah germo. "Hoh-hoh-hooooh ...,"
Sumber: dikutip dari 25 Naskah Terbaik LMKS 2007 Depdiknas
(Rumah Bidadari, hal. 22)
Empat "suami", satu perut perempuan. Tak jelas. Tapi Siti cantik, teramat cantik. Pipi dekik, hidung mancung; rambut lebat panjang, bergelombang. Anak siapa? Sebelas tahun bau kencur. Biddadari pilihan Gusti, dicipta di atas comberan, siapa nyana. Dulu, Mak Nil dibawa Udin. Orang kampung. Ditipu mentah-mentah; tobat, digilir tengah malam. Berempat, bajingan merah. Gali, copet, dan garong. Tak bisa lari; disekap berbulan-bulan. Perut Mak Nil meletus: "Astaga, dia bunting!!"
(Nekrofagus, hal. 78 - 79)
"hoh-hoh-hooooh ...," menjambak-jambak rambut: ambrol. Bajingan. Iris-iris bau keringat tindihan napas mengendus-endus ludah bacin; dicuci tempatnya saja, lap handuk satu basah semalam suntuk buat sekian laki-laki. Kini mami tak lagi bisa. Guguran bulu itu. Meski terkutuklah: berapa liter cairan mani menumpuk di perut, kadang berpikir tak usah minum dari mulut. Jika tidak sedikit bubazir meleleh di kain seprei, menjadi dekil, coklat anyir dijilat kecoa atau sesekali kucing melompat jendela. Satu malam sebotol minyak wangi buat menipu. Bersih. Wangi. Nikmat, "Sayang, aduh sayang ..." meringis. Hanya pelacur-pelacur ahli yang tahu semua lelaki dungu. Dan ia pasti adalah germo. "Hoh-hoh-hooooh ...,"
Sumber: dikutip dari 25 Naskah Terbaik LMKS 2007 Depdiknas
3 komentar:
wew kk keren :)
Aciid senang sastra, bagus dah
Kang nyuhunkeun fb na tiasa ? Hatur nuhun
Posting Komentar