Minggu, 24 April 2011

Sarkasme Sebuah Pilihan Joni Ariadinata


Klimaks
Dalam bukunya Kritik Sastra, Andre Hardjana menjelaskan, menurut Hudson,” Sastra ... pada hakikatnya adalah suatu pengungkapan kehidupan lewat bentuk bahasa”. Hardjana pun pernah menulis di Majalah Basis XV, 4 (Januari 1996), bahwa karya sastra adalah sebuah organisme yang merupakan penggalian kemungkinan-kemungkinan bahasa sebagai batas yang setinggi-tingginya. Sedangkan Subagio Sastrowardoyo,  dalam buku Sekilas Soal Sastra dan Budaya, Edward Safir menyatakan bahwa jika ekspresi simbolik pada bahasa menjadi luar biasa, maka kita bertemu dengan kesusastraan.

Pada kenyataannya, bahasa dalam sastra seringkali bertentangan dengan para pembacanya. Pembaca   sudah tentu para pengguna bahasa kekuasaan. Sedangkan pengarang adalah seorang pencari, seorang kreator  yang selalu berusaha menemukan bentuk-bentuk baru.  Pertentangan antara pembaca dan pengarang  A. Teuw dalam Khasanah Sastra Indonesia, menyebutnya sebagai ketegangan antara norma bahasa dan kebebasan penyair.   Sebagai contoh kalimat-kalimat sarkasme yang hampir menghiasi setiap halaman kumpulan cerpen Kalimati seperti :
“Dasar lelaki tolol keparat, ngurus cucu saja tidak becus!” (Jelatang Budar:88)
“Sekali babi tetap babi. Titik!” (Indonesia;93)
“Dengar! ...Anjingku  lebih berharga dari selembar nyawamu, Paham?” (Anjing:133)

Kata, Anjing! Babi! Setan Alas! Dasar anak kecu, Asu!, Djancuk dan sebaginya- dan sebagainya, tentu saja akan mengusik pikiran dan jiwa pembaca yang sudah terdidik dengan bahasa kekuasaan. Bahasa-bahasa seperti itu tentu akan dianggapnya sebagai bahasa tidak normatif. Tidak sopan. Cabul. Dan lain sebagainya.

Tetapi terlepas dari berbudaya atau tidak berbudaya, bahasa tersebut ada dan hidup di masyarakat. Sarkasme memang sangat hidup di kalangan kaum kere.  Dan bukan berarti tidak hidup di dalam diri para pengguna bahasa kekuasaan.  Karena itu sarkasme juga merupakan produk budaya sebagai bahasa realitas kehidupan. Justru akan sangat tidak baik dan tidak benar, jika Joni memaksakan diri untuk mengganti umpatan-umpatan dengan bahasa yang lebih sopan. Dalam Solilokui-nya Budi Darma menyebutkan “Karya sastra tidak berpura-pura untuk membuktikan sesuatu. Tema, perwatakan, alur cerita, gaya bahasa dan lain-lain bercampur  menjadi satu kebulatan”.

Joni benar-benar menghayati  objek yang ingin ditulisnya,  sampai pada takaran kekentalan bahasa sarkastisnya.  Sarkasme yang ditulis dengan kalimat-kalimat pendek, yang nyaris mirip bahasa lisan, ternyata mampu memvisualisasikan objek-objek kehidupan kaum kere secara detail. Pilihan sarkasme sebagai ungkapan simbolik dari kekerasan dan kepahitan menjadi sangat penting untuk membentuk sekaligus menjaga keutuhan cerita. Sarkasme menjadi sangat penting untuk mengikat tema, perwatakan tokoh, dan setting.

Dengan penulisan detail-detail objek ini, pada akhirnya kita bisa merasakan bagaimana tragis dan menyedihkan kehidupan yang dialami tokoh-tokoh dalam semua judul cerpen. Akibat hegemoni kekuasaan yang represif, dimana keadilan tidak pernah menyentuh kelas bawah, dan kemelaratan terjadi di mana-mana, serta atas nama tata kota dan kepentingan negara, tanah dan rumah mereka digusur tanpa pernah memikirkan mereka harus tinggal di mana. Diantara mereka ada yang harus menjadi maling, menjadi bajingan merah, menjadi pelacur dan gelandangan, bahkan ada yang harus mati sia-sia. Semua untuk bertahan hidup, menjaga harga diri, dan cita-cita yang tak pasti.  Saking pedihnya, pada cerpen-cerpen tertentu kita akan mencapai pada tingkat pencucian jiwa. Katarsis.

Di sisi lain, kalimat-kalimat sarkastis yang nyaris mirip bahasa lisan itu, melalui metafor-metafor nakal mampu juga memvisualisasikan keadaan yang menggelikan.  Beberapa cerpen menyajikan totoh-tokoh konyol dengan segala kedunguan, kenaifan, kepongahan dan ketakberdayaannya. Arogansi para penguasa, industrialisasi yang dipercaya dapat mengangkat martabat manusia, dan kekuasaan militeristik yang dianggap mampu menjamin stabilitas negara, nyatalah tidak menghasilkan apa-apa, selain menyisakan persoalan-persoalan kehidupan yang paradoks. Pada akhirnya kita pun bisa menertawakan tentang sejarah kegagalan bangsa ini dengan amat pahit.

Tidak ada komentar:

Carilah Yang Kau Butuhkan