Minggu, 29 Januari 2012

Pancasila sebagai Ideologi

Ketika masih duduk di bangku kuliah,  saya pernah berbincang-bincang dengan beberapa teman tentang kekaguman kami kepada Ideologi Pancasila.  Teramat lengkap untuk menjadi pedoman berbangsa dan bernegara di tengah-tengah masyarakat yang berbeda suku dan adat istiadat, berbeda bahasa dan berbeda agama, bahkan berbeda pulau yang dipisahkan  lautan maha luas. Alangkah cerdasnya para pemimpin kami di masa lalu merumuskan Pancasila sebagai ideologi bangsa, untuk mengakui Indonesia adalah negeriku. Tak terbantahkan, untuk membangun dan menjaga kelesteraian persatuan dan kesatuan bangsa di tengah-tengah masyarakat yang majemuk memang dibutuhkan Pancasila. Semua butir Pancasila mampu mengayomi sendi-sendi kehidupan, baik secara perorangan maupun secara kolektif. 

Namun kami menjadi sangat terkejut ketika Pancasila dijadikan azas tunggal. Semua organisasi massa harus berlandaskan Pancasila sebagai azas dasar organisasi, termasuk organisasi-organisasi independen seperti HMI, PMII, Pemuda Ansor dsb. Pernyataan ini mendapat reaksi dari beberapa ormas, terutama dari ormas Islam.  Tetapi perlawanan itu hanya sesaat. Dengan menjalankan tindakan  yang represif dan militeristik, semua percik-percik pergolakan bisa dipadamkan oleh pemerintah

Pertengahan tahun 1982, mahasiswa baru mulai ditatar P4 (Pedoman Penghayatan Pengamalan Pansasila). Mula-mula mereka gratis dan mendapat makan dari panitia. Sedangkan pada tahun-tahun berikutnya biaya penataran dibebankan kepada mahasiswa bersamaan dengan biaya daftar ulang. Begitu pula di SMP dan di SMA. Pancasila tidak lagi sebagai ideologi, tetapi lebih bersifat indoktrinatif dan jalan politik untuk melanggengkan kekuasaan. Menjadi sangat mengancam dan menakutkan bagi yang berbeda pandangan dengan pemerintah.

Sejak itu pula tiba-tiba keberadaan syariat agama menjadi di bawah bayang-bayang Pancasila. Ketika Nugroho Noto Susanto menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, siswa sekolah umum (SD, SMP, SMA) yang biasa berjilbab, harus melepas jilbabnya. Entah kena angin dari mana, banyak mahasiswa yang berbicara tentang  jilbab sebagai budaya/adat istiadat  arab, tidak ada hubungannya dengan agama. Di kampung-kampung, masyarakat diributkan dengan orang-orang berjilbab yang menebar racun pada makanan para penjual.  Peristiwa paling mengenaskan terjadi di Tanjung priok, pengajian akbar dibubarkan dengan cara kekerasan. Beberapa orang yang mati dibenarkan kematiannya.
Kini zaman berubah. Rezim Orde Baru jatuh dengan kegagalan menerapkan Pancasila sebagai falsafah yang dipaksakan. Penataran Pedoman Penghayatan Pancasila (P4) ditiadakan.  Film G 30S PKI dihentikan pemutarannya di televisi. Kegagalan Rezim Orde Baru dianggap sebagai kegagalan Pancasila. Pancasila hanyalah alat politis untuk melanggengkan kekuasaan, begitu pikir beberapa orang yang dulu sangat dendam karena peristiwa-peristiwa traumatis. Mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) diganti menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), dan sekarang kata 'Pancasila' dihilangkan, menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Maka Pancasila makin tercerabut di dalam hati bangsa Indonesia.

Sekarang orang bebas bicara apa saja. Demokrasi adalah kebebasan segala-galanya. Tidak seperti demokrasi terpimpin yang diciptakan Rezim Orde Baru. Tidak ada Demokrasi Pancasila. Demokrasi adalah demokrasi; dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat ... Perlahan-lahan nilai-nilai Pancasila mulai memudar.  Pada akhirnya stabilitas negara mulai terganggu menuju disintegrasi bangsa. Radikalisme agama, pertikaian antarsuku, compang-campingnya lembaga penegakan hukum, di antara porak-porandanya perekonomian dan maraknya kasus korupsi menjadi tanda akan hilangnya karakter bangsa.

Padahal Pancasila tidak pernah salah. Kalimat demi kalimatnya masih tetap merupakan cita-cita yang kita idam-idamkan; bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Keragaman budaya, suku bangsa, agama, dan alam adalah tetap diamanahkan sebagai kakayaan untuk kita bersama. Maka wajarlah bila pada akhir-akhir ini banyak pemikir yang ingin merevitalisasi dan mengaktualisasikan kembali nilai-nilai Pancasila melalui jalur pendidikan.  Karena memang nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila perlu dipertahankan sebagai ideologi bangsa. Tinggal sekarang bagaimana cara menyampaikannya kepada peserta didik agar menjadi bangsa yang berkarakter dan beradab serta melayinkan Pancasila harus tetap diamalkan bukan dihapalkan. 

Dan yang perlu diingat bahwa kepemimpinan sekarang, baik yang duduk di eksekutif, legislatif, dan yudkatif, di daerah maupun di pusat adalah produk dari penanaman nilai-nilai  Pancasila oleh pemerintah Orde Baru yang gagal membangun bangsa yang bermartabat. Jadi jangan ditiru dan jangan diteruskan!

Tidak ada komentar:

Carilah Yang Kau Butuhkan