Ketika masih duduk di bangku kuliah, saya pernah berbincang-bincang dengan beberapa teman tentang kekaguman kami kepada Ideologi Pancasila.
Teramat lengkap untuk menjadi pedoman berbangsa dan bernegara di
tengah-tengah masyarakat yang berbeda suku dan adat istiadat, berbeda
bahasa dan berbeda agama, bahkan berbeda pulau yang dipisahkan lautan
maha luas. Alangkah cerdasnya para pemimpin kami di masa lalu
merumuskan Pancasila sebagai ideologi bangsa, untuk mengakui
Indonesia adalah negeriku. Tak terbantahkan, untuk membangun dan
menjaga kelesteraian persatuan dan kesatuan bangsa di tengah-tengah
masyarakat yang majemuk memang dibutuhkan Pancasila. Semua butir
Pancasila mampu mengayomi sendi-sendi kehidupan, baik secara perorangan
maupun secara kolektif.
Namun
kami menjadi sangat terkejut ketika Pancasila dijadikan azas tunggal.
Semua organisasi massa harus berlandaskan Pancasila sebagai azas dasar
organisasi, termasuk organisasi-organisasi independen seperti HMI,
PMII, Pemuda Ansor dsb. Pernyataan ini mendapat reaksi dari beberapa
ormas, terutama dari ormas Islam. Tetapi perlawanan itu hanya sesaat.
Dengan menjalankan tindakan yang represif dan militeristik, semua
percik-percik pergolakan bisa dipadamkan oleh pemerintah
Pertengahan
tahun 1982, mahasiswa baru mulai ditatar P4 (Pedoman Penghayatan
Pengamalan Pansasila). Mula-mula mereka gratis dan mendapat makan dari
panitia. Sedangkan pada tahun-tahun berikutnya biaya penataran
dibebankan kepada mahasiswa bersamaan dengan biaya daftar ulang. Begitu
pula di SMP dan di SMA. Pancasila tidak lagi sebagai ideologi, tetapi
lebih bersifat indoktrinatif dan jalan politik untuk melanggengkan
kekuasaan. Menjadi sangat mengancam dan menakutkan bagi yang berbeda
pandangan dengan pemerintah.
Sejak
itu pula tiba-tiba keberadaan syariat agama menjadi di bawah
bayang-bayang Pancasila. Ketika Nugroho Noto Susanto menjabat Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, siswa sekolah umum (SD, SMP, SMA) yang biasa
berjilbab, harus melepas jilbabnya. Entah kena angin dari mana, banyak
mahasiswa yang berbicara tentang jilbab sebagai budaya/adat istiadat
arab, tidak ada hubungannya dengan agama. Di kampung-kampung,
masyarakat diributkan dengan orang-orang berjilbab yang menebar racun
pada makanan para penjual. Peristiwa paling mengenaskan terjadi di
Tanjung priok, pengajian akbar dibubarkan dengan cara kekerasan.
Beberapa orang yang mati dibenarkan kematiannya.
Kini zaman berubah. Rezim Orde Baru
jatuh dengan kegagalan menerapkan Pancasila sebagai falsafah yang
dipaksakan. Penataran Pedoman Penghayatan Pancasila (P4) ditiadakan. Film G 30S PKI
dihentikan pemutarannya di televisi. Kegagalan Rezim Orde Baru dianggap
sebagai kegagalan Pancasila. Pancasila hanyalah alat politis untuk
melanggengkan kekuasaan, begitu pikir beberapa orang yang dulu sangat
dendam karena peristiwa-peristiwa traumatis. Mata pelajaran Pendidikan
Moral Pancasila (PMP) diganti menjadi Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn), dan sekarang kata 'Pancasila' dihilangkan,
menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Maka Pancasila makin
tercerabut di dalam hati bangsa Indonesia.
Sekarang
orang bebas bicara apa saja. Demokrasi adalah kebebasan segala-galanya.
Tidak seperti demokrasi terpimpin yang diciptakan Rezim Orde Baru.
Tidak ada Demokrasi Pancasila. Demokrasi adalah demokrasi; dari
rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat ... Perlahan-lahan nilai-nilai
Pancasila mulai memudar. Pada akhirnya stabilitas negara mulai
terganggu menuju disintegrasi bangsa. Radikalisme agama, pertikaian
antarsuku, compang-campingnya lembaga penegakan hukum, di antara
porak-porandanya perekonomian dan maraknya kasus korupsi menjadi tanda
akan hilangnya karakter bangsa.
Padahal
Pancasila tidak pernah salah. Kalimat demi kalimatnya masih tetap
merupakan cita-cita yang kita idam-idamkan; bersatu, berdaulat, adil
dan makmur. Keragaman budaya, suku bangsa, agama, dan alam adalah tetap
diamanahkan sebagai kakayaan untuk kita bersama. Maka wajarlah bila
pada akhir-akhir ini banyak pemikir yang ingin merevitalisasi dan
mengaktualisasikan kembali nilai-nilai Pancasila melalui jalur
pendidikan. Karena memang nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
perlu dipertahankan sebagai ideologi bangsa. Tinggal sekarang bagaimana
cara menyampaikannya kepada peserta didik agar menjadi bangsa yang
berkarakter dan beradab serta melayinkan Pancasila harus tetap diamalkan bukan dihapalkan.
Dan
yang perlu diingat bahwa kepemimpinan sekarang, baik yang duduk di
eksekutif, legislatif, dan yudkatif, di daerah maupun di pusat adalah
produk dari penanaman nilai-nilai Pancasila oleh pemerintah Orde Baru yang gagal membangun bangsa yang bermartabat. Jadi jangan ditiru dan jangan diteruskan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar