Jumat, 29 April 2011

Afrizal Malna, Autar Abdillah dan Saya


Hari Kamis, 7/4/2011 saya didaulat oleh panitia  dari Univ. Jember dan Komunitas Lepas Paragrafuntuk mendampingi Afrizal Malna, membedah bukunya yang berjudul Perjalanan Teater Kedua : Antologi Tubuh dan Kata.  Secara kebetulan waktu itu saya baru selesai mementaskan Hutan Tak Lagi Sepi di Malam Hari dan Kelakar Duka, dua teater nonverbal saya. Malam harinya saya langsung menulis di blog ini (Baca pentas: Hutan Tak Lagi Sepi di Malam Hari)  yang saya share-kan ke facebook.  Alhamdulillah, Bang Autar mau berkunjung ke fb saya dan mengomentari buku Afrizal Malna tersebut.

Dalam tulisan saya, Afrizal Malna telah mampu mendokumentasi pementasan-pementasan teater tubuh, yang sekaligus menjawab kegelisahan-kegelisahan para pekerja teater tersebut.

Menurut Bang Autar; Afrizal Malna kayaknya harus  mengubah judul, saya hanya engingatkan. Perjalanan Teater Kedua sudah dibuat oleh Jerzy Growtoski. Bagi Growtoski, teater pertama adalah Teater Klasik Yunani, teater kedua adalah Teater Kaya, maka dia mencetuskan teater ketiga yaitu Teater Miskin. Bagi Afrizal teater kedua adalah si “Penyalin Peertubjukan”, bisa dianggap sih. Teatapi menjadi signifikan ketika kita hendak(mau:red) mengungkap dasar pemikirananya, atau orang akademis bilang dasar teoritiknya. Tapi sudahlah mudah-mudahan lahir konsepsi baru yang lebih konstruktif.

Sedang menurut saya, ada yang tidak dipahami, baik tubuh mapun kata pada intinya adalah media pikiran pikiran dan perasaan, saya teringat teori yang ditulis  Michel Loure  bahwa Teater dapat diartikan ruang pertunjukan dan gagasan yang dipertontonkan. Jadi, baik dari kata menjadi tubuh, atau sebaliknya, sebenarnya hanya bagaimana cara untuk menikmati suasana. Dasar awalnya adalah ‘gagasan’ untuk dipertontonkan.
Ya bisa begitu dalam konteks perlakuan kata dan tubuh, jawab Bang Autar. Tapi ada soal lain, yaitu pendekatan dan atau sebelum perlakuan kata dan tubuh. Pendekatan yang berbeda melahirkan dampak dan solusi yang berbeda pula. Disinilah Afrizal menawarkan pendekatan antropologis.

Komentar pun muncul dari Laboratorium Drama Malang yang mengatakan: Setuju dengan istilah teater pertama, kedua dan ketiga, justru saya ingat orang pertama, kedua dan ketiga (aku, kamu, dia). Jadi Cuma kedudukan komunikasi. Cukup lumayan untuk membangkitkan semangat  menulis tentang pertubjukan, paling tidak aku, kamu dan dia tidak kehilangan sejarah.

Bang Autar enjawab; Justru saya mempersoalkan komunikasi itu sendiri.. Dalam teater ketiga Grotowski, justru teater tidak melakukan komunikasi. Tapi change of persption dan mereka menyebutnya sebagai journalisme.

(wah saya jadi ingin tahu maksud journalisme yang disebut Bang Autar. Sebab menurut Bang Autar, Halim HD saja salah mempersepsikan teater journalisme Grotowski)

1 komentar:

Kampung Budaya Arek mengatakan...

Ada baiknya Saya menuliskan kutipan aslinya:
...
I don't think theatre is to do with communication (observed Peter Brook in a television interview on the BBC), that's jousnalism. When theatre is true, there is an actual 'moment of truth, and when that happens there is a change of perception... (James Roose-Evans, 1989, hal 168)Buku ini pernah saya terjemahkan sekitar 1990, dan Landung Siatupang Saya harap bersedia membantu. Beberapa waktu lalu Saya kembali ketemu Landung setelah lebih 20 th tidak ketemu, dan kami akan berusaha menerjemahkan buku ini kebali. Mudah2an lancar...sukses selalu

Carilah Yang Kau Butuhkan