"Apa yang bisa kau banggakan sebagai tukang tukur?" tanya tentara yang sedang asyik menikmati suara gunting dan helai-helai rambut terpotong dari kepalanya.
"Sudah tugasku merapikan dan menata kembali rambut yang dianggap berantakan atau dianggap panjang oleh pemiliknya. Dan untuk itu tak ada seorang pun yang berani protes ketika kepala orang-orang kupegang, kugeser ke kiri atau ke kanan, kutundukkan atau kudongakkan. Kepala presiden sekalipun akan menurut mengikuti gerakan-gerakan tanganku. Bahkan bila aku mempunyai niat jahat. Orang-orang pasti tidak akan mengira bahwa aku bisa menikamnya dengan pisau cukur yang tajam secara diam-diam," jawab tukang cukur, membuat tentara agak ngeri mendengarnya. "Bapak sendiri bagaimana, apa yang bisa dibanggakan dari seorang tentara?" tukang cukur balik bertanya.
"Aku sangat bahagia menyaksikan anak-anak berjalan dalam karnaval, senang mengenakan pakaian tentara. Mereka menjadi sangat heroik dan bangga merasa sebagai pahlawan," jawab tentara.
" Ya, anak laki-laki akan suka bermain perang-perangan, bermain bedil-bedilan, pistol-pistolan, pewasat tempur,tank, dan senjata-senjata lainnya," kata tukang cukur.
"Itulah yang tak kusukai. Tanpa disadari mereka sudah diajari naluri membunuh dan bermusuh-musuhan," sahut tentara
Pistol dan bedil kerap kali dijadikan alat intimidasi. Bandar-bandar, cukong-cukong, salah atau tidak salah tetap dibentengi tentara. Dan rakyat ...
Tukang cukur hanyut dalam pikirannya. Teringat saat tanahnya digusur untuk sebuah pabrik. Di situ ada tentara. Sedangkan tentara mengenang adiknya, mahasiswa tingkat akhir yang berhadapan langsung dengannya ketika demonstrasi, memaki dan mengucap kata-kata kotor seolah dia bukan abangnya. Pedih sekali hatinya.
" Tidak semua tentara menjadi bengis lantaran senjata," bisiknya dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar